Text
Sejarah Buddhisme di India
Taranatha, atau Kunga Nyingpo (1575-1635), adalah salah satu cendekiawan terbesar yang pernah dilahirkan oleh Tibet. Terlahir dalam keluarga penerjemah terkenal, Dorje Drak, pada umur 4 tahun ia dikenali sebagai reinkarnasi dari Kunga Drolchok (guru besar pemegang silsilah dari tradisi Buddhis Jonangpa, Shangpa, dan Sakyapa di Tibet). Meski lahir sebagai orang Tibet, ia mengadopsi nama ‘Taranatha’ setelah konon didatangi oleh seorang India dalam visinya, yang meyakinkan dirinya bahwa nama aslinya adalah Taranatha. Sebagai sosok utama dalam tradisi Buddhisme-Tibet, ia juga sekaligus dipandang sebagai negarawan berpengaruh di Tibet abad ke-17 (berhubung Tibet di masa itu adalah negara teokrasi).
Selain menulis aneka risalah dan komentar tentang aspek filosofis dari Buddhisme (layaknya kaum cendekiawan Tibet di masa itu), ia juga menceburkan diri dalam sebuah proyek yang hampir-hampir jarang disentuh oleh koleganya, yakni menulis sejarah Buddhisme di India. Buku Sejarah Buddhisme di India rampung pada tahun 1608. Sesuai judulnya, yang mencantumkan kata ‘India’, karya ini dapat ditafsirkan sebagai upaya penggambaran sejarah India secara umum, meski perspektif yang diambil adalah perspektif agama – raja-raja dan dinasti-dinasti yang silih berganti naik ke tampuk kekuasaan dibahas dalam kaitannya perkembangan Buddhisme yang mengiringinya. Di sisi lain, karya ini juga bisa dilihat sebagai gambaran sejarah Buddhisme secara khusus (tepatnya, sejarah Buddhisme di India). Sifat rangkap dari karya ini mencirikan posisi Taranatha sebagai cendekiawan Buddhis pada umumnya, sekaligus upaya kreatifnya dalam mendobrak sekat antara ‘sejarah sebagai urusan duniawi’ dan ‘agama sebagai urusan spiritual’.
Tesis utama Taranatha mungkin berbunyi: agama tak bisa dipisahkan dari konteks sosio-politik tempat ia tumbuh subur. Di sini, para pengkaji sejarah maupun politik India, mau tak mau, mesti mempertimbangkan karya Taranatha untuk memahami milenium pertama dalam sejarah India. Tak hanya pegiat sejarah dan politik, mereka yang berkecimpung dalam ranah sastra dan logika India juga tak diragukan bakal meraup manfaat dari karya ini, yang memang pada dasarnya adalah cuplikan karya-karya sastra dan logika yang dirangkum dalam satu buku (tak ada yang mengejutkan dari pernyataan ini, karena semua kitab Buddhis di masa itu ditulis dengan gaya sastrawi dan hampir pasti mengulas logika di dalamnya).
Taranatha menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menghidupkan kembali tradisi Jonangpa, baik dengan menugaskan para seniman untuk membuat lukisan-lukisan kelas dunia yang menghiasi biara-biara Jonangpa ataupun dengan menugaskan dirinya sendiri untuk melambungkan tradisi intelektual Jonangpa dalam kancah Buddhisme-Tibet (dan memang, ketenaran Jonangpa dalam tradisi filsafat sampai hari ini berutang banyak pada sosok Taranatha). Terlepas dari kualitas mumpuni dari karangannya tentang instruksi meditasi, sistem Tantra, tata cara ritual, dan aspek Buddhis lainnya, karya Taranatha yang paling tenar adalah catatan sejarahnya, yang terinspirasi dari perjumpaannya dengan para yogi dan cendekiawan India yang berkunjung ke Tibet (termasuk Buddhagupta, gurunya yang ditemuinya pada usia 14 tahun).
Di pengujung hidupnya, Taranatha menjadi saksi dari pergumulan politik di Tibet, yang menyebabkan ditindasnya tradisi Jonangpa oleh rezim yang berkuasa di Tibet Tengah. Secara retrospektif, barangkali Taranatha akan mengamini catatan sejarah yang dikarangnya berpuluh tahun sebelumnya, bahwa perkembangan agama itu selalu berkelindan dengan gerak sejarah dan konteks sosio-politik suatu masyarakat.
Dalam Sejarah Buddhisme di India, Buddhisme ditelusuri mulai dari masa-masa paling awal, termasuk periode Raja Ajatashatru yang bengis (namun yang konon akhirnya bertobat dalam jalan Buddhisme), periode Raja Ashoka yang kisah hidupnya kurang lebih mirip dengan Ajatashatru (namun yang nantinya akan dikenang sebagai penyebar Buddhisme paling terkenal), periode Konsili Sangha ke-3, periode tumbuh suburnya Mahayana, periode Nagarjuna selaku cendekiawan terbesar dalam sejarah Mahayana (dan mungkin sejarah Buddhisme secara umum), periode cendekiawan generasi berikutnya seperti Aryadewa dan dua bersaudara Asanga dan Wasubandhu, periode Dignaga selaku salah satu logikawan terbesar dalam sejarah umat manusia (filsafat Dignaga merevolusi cara berfilsafat di India dan Tibet dan menjadi standar berfilsafat di kedua negeri ini dalam abad-abad berikutnya), dan aneka periode penting lainnya.
Singkat kata, membaca Sejarah Buddhisme di India adalah ibarat membaca catatan sejarah yang dituturkan oleh ‘orang dalam’ (Taranatha selaku seorang Buddhis yang mengkaji aspek historis dari Buddhisme), dan kapanpun ‘orang dalam’ – apalagi yang selevel Taranatha – mengkaji sesuatu, karya yang dihasilkan pastilah menarik dan berharga untuk dibaca.
Tidak tersedia versi lain